Pertengahan 2008 lalu saya berkesempatan bertemu dan berdialog singkat dengan tu’ur masalah budaya Minahasa, Bpk. Jessy Wenas di sekretariat Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. Dimulai dari membahas minimnya kuantitas souvenir Minahasa, Dotu Sumanti di Tondano yang hilang kekuatan magisnya karena masuk Kristen, tukang potong kepala yang turun gunung cari mangsa di pantai barat Minahasa, hingga masalah “baku cungkel”.
Ya, “baku cungkel”. Mungkin itu satu-satunya “tradisi” yang selalu melekat pada sistem sosial orang Minahasa hingga saat ini. Atau mungkin genetik? hehehe. Bpk Jessy Wenas sendiri berpendapat bahwa “baku cungkel” itu positif. Awalnya saya sendiri masih abu-abu (ragu). Tetapi akhirnya jadi pembenaran juga kalo dilihat dari perspektif “Survival of the fittest”, siapa yang kuat dialah yang bertahan. Kita lebe maju, kita lebe jago, kita sama dengan dorang, ngana cuma sama dengan ngana pe kaum jo, taputar-putar di situ. Mungkin kalimat-kalimat itu yang ada di benak para penganut “baku cungkel”.
Tapi namanya juga pertemuan singkat, jadi dialog “baku cungkel”dengan tu’ur budaya ini hanya sebentar. Tidak ada kesimpulan. Yang penting pulang bawa buku “Sejarah dan Kebudaan Minahasa” dari penulisnya langsung dan gratis. Dan dalam hati: “Nanti kita baca ini buku kong cari tau lebe banya, biar lebe jago dari ngana, kong kalo so jago kita cungkel pa panga, gratis, hahaha”. Cuma lupa minta tanda tangan... :(